Thursday, August 10, 2006

Sana`a (ANTARA News) - Hari-hari pertama serangan Israel ke Lebanon, PM Israel Ehud Olmert menyamakan Sekjen Hizbullah, Sheikh Hassan Nasrallah, sebagai Osama Bin Ladin, pemimpin gerakan Al-Qaeda, sehingga perlu "dihabisi".


Pernyataan Olmert merupakan bagian dari perang urat syaraf untuk mengucilkan Hizbullah yang sejak lebih dari tiga tahun belakangan ini ikut menjadi "korban" perang melawan terorisme yang dilancarkan Amerika Serikat (AS).


Lewat payung PBB, negeri adikuasa itu dengan dukungan Barat yang memang menguasai badan dunia itu berhasil memasukkan gerakan perlawanan Hizbullah dalam "daftar hitam" gerakan terorisme.



Yang ditarget pemimpin negeri Zionis dari pernyataan itu adalah Hizbullah tidak ada bedanya dengan Al-Qaeda demi mendapatkan dukungan luas, terutama dari kalangan resmi dan publik Arab.



Selain itu, para petinggi negeri Yahudi itu juga ingin mendapatkan justifikasi untuk menghancurkan gerakan perlawanan yang ditakuti rakyat Israel itu. "Kartu" lainnya yang dipegang Tel Aviv adalah payung PBB melalui resolusi 1559.


Resolusi yang diadopsi pasca-terbunuhnya mantan PM Lebanon, Rafiq Hariri 14 Februari 2005 itu, antara lain berisikan perlunya melucuti senjata Hizbullah untuk mengedepankan kedaulatan negara di wilayah selatan negeri itu.


Tel Aviv berusaha menciptakan citra baru terhadap Hizbullah yang ditujukan kepada dunia Arab sebagai upaya "pemungkas" untuk menamatkan riwayat gerakan yang telah mempermalukan tentara Israel.


Pasukan negeri Zionis itu yang dilengkapi dengan persenjataan super canggih gagal "mengubur" Hizbullah sejak agresi tahun 1982 yang meluluhlantahkan Lebanon. Bahkan negara biadab Israel akhirnya terpaksa hengkang dari Lebanon Selatan pada Mei 2000.


Untuk menutup muka dari rasa malu terhadap warga Israel, para petinggi negeri penjajah ini menyatakan hengkang dari daerah pendudukan di Lebanon Selatan sebagai pelaksanaan resolusi PBB nomor 425 yang menuntutnya keluar dari daerah Lebanon.


Padahal semua publik dunia mengetahui bahwa negeri Yahudi ini tidak sekalipun mentaati puluhan resolusi yang dikeluarkan badan dunia itu menyangkut penyelesaian konflik Arab-Israel. Satu-satunya yang dilaksanakan adalah resolusi 425 pada bulan mei 2000 karena kewalahan menghadapi perlawanan Hizbullah.


Karenanya tidak aneh, bila setiap ada kesempatan akan terus berusaha menguburkan gerakan tersebut, di antaranya lewat perang urat syaraf, termasuk dengan menyamakan Nasrallah dengan Bin Ladin saat eskalasi Lebanon yang saat ini telah memasuki minggu keempat.


Perbedaan mendasar


Kampanye Olmert yang ditujukan ke publik Arab itu dapat dipastikan akan gagal menuai hasil, akibat perbedaan mendasar antara Hizbullah dan gerakan perlawanan Arab lainnya, semisal Hamas di satu pihak dengan gerakan Al-Qaeda di pihak lain.


Di antara perbedaan mendasar yang mesti dicatat antara lain, gerakan perlawanan di Arab semisal Hizbullah dan juga Hamas adalah gerakan perlawanan sah yang dijamin oleh hukum internasional, karena bertujuan untuk mengenyahkan pendudukan asing.


Gerakan perlawanan tersebut juga organisasi resmi yang memiliki wakil-wakil rakyat di parlemen negara masing-masing. Hizbullah misalnya menguasai sekitar seperempat kursi parlemen Lebanon.


Hamas menguasai mayoritas kursi Lembaga Legislatif Palestina lewat proses demokrasi yang disebut-sebut sebagai yang paling jurdil di dunia Arab, sehingga diberikan wewenang penuh oleh Presiden, Mahmoud Abbas Abu Mazen, untuk membentuk pemerintahan sendiri.


Yang paling penting dicatat lagi adalah gerakan perlawanan semisal Hizbullah dan Hamas hanya melakukan aksi militernya di daerah pendudukan melawan pasukan penjajah Israel.


Meskipun AS secara terang-terang memberikan dukungan mutlak kepada Israel, baik politik terutama melalui puluhan vetonya di PBB maupun militer melalui pengiriman senjata canggih untuk mematikan perlawanan, gerakan itu tidak mengembangkan perlawanan ke luar dengan target kepentingan AS.


Kedua gerakan tetap komitmen untuk hanya melakukan perlawanan militer di daerah pendudukan dan hanya menargetkan satu negara saja, yakni Israel. Bom mati syahid yang dilakukan terhadap target sipil Israel merupakan reaksi logis dari kebrutalan sangat biadab Israel yang sering melakukan pembantaian warga sipil Arab.


Sikap komitmen gerakan-gerakan itulah yang membuat dunia Arab baik di tingkat resmi dan publik tetap mendukung gerakan perlawanan, walaupun telah masuk daftar hitam oleh sebagian dunia Barat.


Bahkan dunia Arab di tingkat resmi didukung negara-negara Islam lainnya, tetap menegaskan penolakan di forum-forum internasional yang menyamakan gerakan perlawanan sebagai gerakan terorisme.


Buka mata


Sedangkan gerakan Al-Qaeda pimpinan Sheikh Osama Bin Ladin adalah gerakan bawah tanah yang memiliki jaring-jaring di manca negara yang siap digerakkan untuk melakukan aksi tertentu di seluruh dunia, terutama ditujukan untuk target kepentingan Barat (AS).


Tidak seperti gerakan perlawanan Arab yang lahir di bumi ibu pertiwi masing-masing, Al-Qaeda, lahir di pengasingan dan target aksi bukan hanya dikhususkan kepada Barat, bahkan juga ke sejumlah negara Arab yang dituduh menjadi antek Barat.


Tujuan politis Al-Qaeda juga terkesan tidak jelas, sementara tujuan politis gerakan-gerakan perlawanan yang memiliki wakil-wakil di parlemen jelas, yaitu mengakhiri penjajahan yang dijamin oleh hukum dan konvesi internasional.


Karena itu, sangat logis bila gerakan semacam Hamas dan Al-Jihad Al-Islami di Palestina dan Hizbullah di Lebanon menolak tegas dikaitkan dengan Al-Qaeda. Para pemimpin gerakan tersebut menilai pengkaitan itu sebagai upaya untuk merusak citra perlawanan agar menimbulkan kesan gerakan terorisme di mata internasional.


Gerakan Al-Qaeda juga merekrut personel dari manca negara. Karenanya, baik Barat maupun tingkat resmi Arab dan dunia Islam umumnya sepakat memasukkan Al-Qaeda sebagai organisasi terorisme.


Kemunculan orang kedua Al-Qaeda, Ayman Al-Zawahiri, di tengah-tengah eskalasi Lebanon, lewat pernyataannya yang antara lain mengingatkan bahwa Al-Qaeda tidak akan berdiam diri atas aksi Israel di Palestina dan Lebanon, justeru merugikan perlawanan Arab.


"Kemunculan Al-Zawahiri di tengah eskalasi Israel di Lebanon dan Palestina justeru merugikan perlawanan Arab, karena akan menimbulkan kesan perlawanan ini punya kaitan dengan Al-Qaeda, padahal kenyataannya adalah sangat berseberangan dari segala sisi," ujar sejumlah pakar Arab.


Namun akhirnya, perkembangan eskalasi di Lebanon sedikitnya makin menegaskan akan perbedaan tersebut, terutama setelah Hizbullah berhasil mengubah taktik perlawanan dengan hanya memberikan reaksi terhadap aksi biadab Israel.


Publik dunia semakin melihat dengan nyata, pihak yang mana sebenarnya yang pantas disebut teroris yang telah membantai ratusan rakyat sipil. Apakah teror negara yang dilakukan Israel atau Hizbullah dan Hamas yang tidak mampu menimbulkan kehancuran dan pembantaian kecuali sekedar mempertahan diri?


Setelah publik dunia nikmat tidur dengan "dendangan" Israel tentang aksi "terorisme" gerakan Hammas dan Hizbullah, eskalasi Lebanon akhirnya telah membuka mata mereka tentang aksi terorisme sesungguhnya sekaligus menegaskan bahwa Hizbullah atau Hamas bukanlah Al-Qaeda. (*)


COPYRIGHT © 2006 ANTARA


6 Agustus 2006 14:7

No comments: